Rasanya Tumbuh Tanpa Peran Ayah Sedikitpun

whimbrelrin
2 min readJul 30, 2023

--

Dulu aku selalu melihat anak-anak seumuranku memiliki keluarga yang harmonis dan lengkap.

Aku bertanya, kenapa aku tidak?

Bahkan aku mengingat satu hal, aku mengisi nama ibuku dalam kepala keluarga dan banyak guru bertanya, “Kenapa ibumu dan bukan ayah?”

Aku selalu menjawab, “Aku hanya punya ibu.”

Apakah ayah mengunjungiku? Memang, tetapi hanya dapat dihitung jari.

Lalu apa bagian tersiksanya tanpa kehadiran ayah?

Setelah sebesar ini, aku paham banyak hal.

Aku sering mengganti sosok ayah sebagai pasangan, aku menginginkan untuk selalu diberi afeksi tanpa henti.

Jika tidak mendapatkan afeksi yang aku mau, aku akan loncat ke orang lain yang bisa memberinya.

Aku sering menggunakan tubuhku untuk digunakan hanya demi afeksi semata.

Seiring waktu, aku sering merasa kesepian.

Aku butuh peran yang selalu bisa menemaniku. Tanpa sadar bahwa kesepian ini juga memakan jiwaku hidup-hidup.

Setiap hari, aku akan menyalahkan diriku sendiri karena orang-orang meninggalkanku.

Setiap hari aku menyalahkan semua trauma yang ada pada diriku.

Setiap hari aku menyalahkan perbuatan ibuku padaku yang kejam pada diriku.

Setiap hari aku berandai-andai, kapan semua ini selesai?

Aku mengalami banyak hal, hingga di satu titik, bagaimana jika aku mengambil nyawaku?

Dengan sisa-sisa Leukemia yang masih melekat, aku bisa saja mati karena penyakit ini, tapi untuk membuatnya kambuh tidak semudah itu.

Lalu, aku selalu memiliki rencana cadangan untuk mati dengan cara yang lain.

Orang-orang melihatku sebagai anak yang pintar, pendiam, dan netral.

Namun, dibalik semua itu hanya ada sosok anak perempuan kecil yang memendam emosinya—meminta keluarga harmonis.

Mungkin Tuhan tidak memberikan sosok keluarga harmonis dan lengkap, tetapi ia tahu aku sekuat apa.

Jika kuberi tahu, aku setiap harinya tidak sewaras dulu, apa mau dikata?

Aku tidak pernah sewaras ketika semuanya masih terlihat baik-baik saja.

Aku selalu senang melihat keluarga yang bahagia dan lengkap.

Aku mudah tersentuh dengan semuanya sekaligus sakit akan semuanya.

Kuberitahu orang-orang yang kupercaya, bagaimana jika aku overdosis lagi? menyakiti diri sendiri lagi?

Tapi aku tahu, mereka akan melarangnya.

Melakukannya atau tidak, aku tahu aku akan merasakan sakit. Entah jera ataupun tidak, tetap kulakukan.

“Jadi, kamu setersiksa itu?”

Iya, aku tidak pernah menunjukkannya, ya?

Banyak topeng yang aku pasang. Memangnya ada juga yang mau mendengar?

Mereka hanya prihatin.

Sosok ayah sangat penting, tetapi banyak orang meremehkannya.

Dan jika aku harus mengulang semuanya kembali, aku memilih untuk hadir di keluarga yang tahu seberapa besar mereka harus menyayangi anak mereka, mengasuh anak mereka dengan baik, dan selalu hadir untuk anaknya—atau tidak dilahirkan lagi sama sekali.

Aku tidak tahu apa yang ayah pikirkan sekarang, tetapi aku berterima kasih karena menghadirkan semua luka tanpa syarat.

Menjadi anakmu adalah sebuah kutukan tak berujung, labirin kalah dari perlakuanmu.

--

--

whimbrelrin
whimbrelrin

No responses yet